PRAKTIKUM FARMAKOLOGI - Diuretik
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Air seni
merupakan zat yang tidak berguna atau sampah sehingga harus dibuang oleh tubuh.
Apabila pengeluaran air seni terhambat, maka akan menimbulkan banyak masalah di
dalam tubuh, contohnya adalah penyakit darah tinggi. Kelancaran pengeluaran air
seni akan mempengaruhi tekanan darah. Sebaliknya tekanan darah tinggi bisa
dipengaruhi atau diobati dengan peningkatan pengeluaran air pada darah atau
urin (diuretik). Salah satu cara menurunkan tekanan darah adalah menurunkan
jumlah air yang ada dalam plasma darah. Dengan berkurangnya air maka tekanan
darah akan menurun (Permadi, 2006)
Diuretik merupakan
obat-obatan yang dapat meningkatkan laju aliran urin. Golongan obat ini
menghambat penyerapan ion natrium pada bagianbagian tertentu dari ginjal. Oleh
karena itu, terdapat perbedaan tekanan osmotik yang menyebabkan air ikut
tertarik, sehingga produksi urin semakin bertambah (Satyadharma, 2014). Dengan
kata lain diuretik ialah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin.
Istilah diuresis memiliki dua pengertian, ialah menunjukkan adanya penambahan
volume urin yang diproduksi dan menunjukkan jumlah pengeluaran zat-zat terlarut
dan air (Sunaryo, 1995). Obat diuretik dapat pula digunakan untuk mengatasi
hipertensi dan edema. Edema dapat terjadi pada penyakit gagal jantung kongesif,
sindrom nefrotik dan edema premenstruasi.
Fungsi utama
diuretik adalah untuk memobilisasi cairan udem yang berarti mengubah
keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstrasel menjadi
normal. Proses diuresis dimulai dengan mengalirnya darah ke dalam glomeruli
(gumpalan kapiler) yang terletak di bagian luar ginjal (cortex). Dinding glomeruli inilah yang bekerja sebagai saringan
halus yang secara pasif dapat dilintasi air, garam dan glukosa. Ultrafiltrat
yang diperoleh dari filtrasi dan mengandung banyak air serta elektrolit
ditampung di wadah, yang mengelilingi setiap glomerulus seperti corong (kapsul
Bowman) dan kemudian disalurkan ke pipa kecil. Di sini terjadi penarikan kembali
secara aktif dari air dan komponen yang sangat penting bagi tubuh, seperti
glukosa dan garam-garam antara lain ion Na+. Zat-zat ini dikembalikan pada
darah melalui kapiler yang mengelilingi tubuli. Sisanya yang tak berguna
seperti ”sampah” perombakan metabolisme-protein (ureum) untuk sebagian besar
tidak diserap kembali. Akhirnya filtrat dari semua tubuli ditampung di suatu
saluran pengumpul (ductus coligens),
di mana terutama berlangsung penyerapan air kembali. Filtrat akhir disalurkan
ke kandung kemih dan ditimbun sebagai urin.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana cara evaluasi secara eksperimental efek
diuretik suatu obat.
2.
Bagaimana
merumuskan beberapa kriteria diuretik dan pendekatan yang baik untuk mengatasi
diuretik.
1.3
Tujuan Praktikum
Setelah menyelesaikan praktikum ini, mhasiswa
diharapkan :
1.
Mengenal cara
evaluasi secara eksperimental efek diuretik suatu obat.
2.
Mampu
merumuskan beberapa kriteria diuretik dan pendekatan yang baik untuk mengatasi
diuretik.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
2.1 Diuretik
2.1.1
Definisi
Diuretik
merupakan golongan obat yang berfungsi untuk mendorong produksi air seni
(KBBI.web.id). Diuretik merupakan obat-obatan yang dapat meningkatkan
laju aliran urin. Golongan obat ini menghambat penyerapan ion natrium pada bagianbagian
tertentu dari ginjal. Oleh karena itu, terdapat perbedaan tekanan osmotik yang
menyebabkan air ikut tertarik, sehingga produksi urin semakin bertambah
(Satyadharma, 2014). Diuretik juga bisa diartikan sebagai obat-obat yang
menyebabkan suatu keadaan meningkatnya aliran urin. Obat-obat ini menghambat
transport ion yang menurunkan reabsorpsi Na+ pada bagian-bagian nefron yang
berbeda. Akibatnya Na+ dan ion lain seperti Cl- memasuki urin dalam jumlah
lebih banyak dibandingkan bila keadaan normal bersama-sama air yang mengangkut
secara pasif untuk mempertahankan keseimbangan osmotik (Pamela dkk., 1995).
Fungsi utama
diuretik adalah untuk memobilisasi cairan edema yang berarti mengubah
keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstrasel kembali
menjadi normal (Farmakologi dan terapi, 2012)
2.1.2
Faktor yang Mempengaruhi Respon Diuretik
Terdapat tiga
faktor utama yang mempengaruhi respon diuretik. Pertama, tempat kerja diuretik
di ginjal. Diuretik yang bekerja pada daerah yang reabsorbsi natrium
sedikit, akan memberi efek yang lebih kecil bila dibandingkan dengan
diuretik yang bekerja pada daerah yang reabsorbsi natrium banyak. Kedua,
status fisiologi dari organ. Misalnya dekompensasi jantung, sirosis hati,
gagal ginjal. Dalam keadaan ini akan memberikan respon yang berbeda
terhadap diuretik. Ketiga, interaksi antara obat dengan reseptor (Siregar,
P., W.P., R. Oesman, R.P. Sidabutar , 2008).
2.1.3
Mekanisme Kerja Diuretik
Diuretik
menghasilkan peningkatan aliran urin (diuresis) dengan menghambat reabsorpsi
natrium dan air dari tubulus ginjal. Kebanyakan reabsorpsi natrium dan air
terjadi di sepanjang segmen-segmen tubulus ginjal (proksimal, ansa Henle dan
distal) (Kee dan Hayes, 1996).
1. Tubuli
proksimal
Garam direabsorpsi secara aktif
(70%), antara lain Na+ dan air, begitu pula glukosa dan ureum. Karena
reabsorpsi berlangsung proporsional, maka susunan filtrat tidak berubah dan
tetap isotonis terhadap plasma. Diuretika osmosis (manitol, sorbitol) bekerja
disini dengan merintangi reabsorpsi air dan natrium (Tjay dan Rahardja, 2002).
2. Lengkungan
Henle
Di bagian menaik lengkungan Henle
ini, 25 % dari semua Cl- yang telah difiltrasi direabsorpsi secara aktif,
disusul dengan reabsorpsi pasif dari Na+ dan K+, tetapi tanpa air, hingga
filtrat menjadi hipotonis. Diuretika lengkungan (furosemida, bumetamida,
etakrinat) bekerja dengan merintangi transport Cl-, dan demikian reabsorpsi
Na+, pengeluaran K+, dan air diperbanyak (Tjay dan Rahardja, 2002).
3. Tubuli
distal
Di bagian pertama segmen ini, Na+
direabsorpsi secara aktif tanpa air hingga filtrat menjadi lebih cair dan
hipotonis. Senyawa thiazida dan klortalidon bekerja di tempat ini (Tjay dan
Rahardja, 2002). Di bagian kedua segmen ini, ion Na+ ditukarkan dengan ion K+
atau, proses ini dikendalikan oleh hormon anak ginjal aldosteron. Antagonis
aldosteron (spironolakton) dan zat-zat penghemat kalium (amilorida, triamteren)
bekerja disini (Tjay dan Rahardja, 2002).
4. Saluran
pengumpul
Hormon antidiuretik vasopresin dari
hipofise bekerja di saluran pengumpul dengan jalan mempengaruhi permeabilitas
bagi air dan sel-sel saluran ini (Tjay dan Rahardja, 2002).
2.1.4
Frekuensi Volume Urin Normal
Volume urin tergantung pada jumlah
air diekskresikan oleh ginjal. Air adalah komposisi utama. Oleh karena itu,
banyaknya eskresi oleh tubuh tergantung dari hidrasi. Faktor-faktor yang
mempengaruhi volume urin meliputi asupan cairan, kehilangan cairan yang bukan
bersumber dari ginjal, variasi yang tergantung dari antidiuretik hormon (ADH), dan kebutuhan untuk
mengeluarkan jumlah peningkatan zat terlarut seperti glukosa atau garam.
Volume urin normal pada manusia
yaitu pada anak-anak volumenya adalah 500-1400 mL / hari, sedangkan pada orang
dewasa volumenya adalah 800-2500 mL / hari.
2.2 Penggolongan Diuretik
Secara umum dapat digolongkan
menjadi dua golongan besar, yaitu penghambat mekanisme transport elektrolit
dalam tubuli ginjal dan diuretik osmosis.
2.2.1
Diuretik Penghambat Mekanisme Transport
Elektrolit dalam Tubuli Ginjal
Golongan obat diuretik ini,
digolongkan kedalam beberapa golongan, yaitu:
1. Benzotiazid
Bezotiazid merupakan diuretik
turunan tiazida adalah saluretik, yang dapat menekan absorpsi kembali ion-ion
Na+, Cl- dan air. Turunan ini juga meningkatkan ekskresi ion-ion K+, Mg++ dan
HCO3- dan menurunkan eksresi asam urat (Siswandono dan Soekardjo, 2000).
Diuretik turunan tiazida terutama
digunakan untuk pengobatan udem pada keadaan dekompensasi jantung dan sebagai
penunjang pada pengobatan hipertensi karena dapat mengurangi volume darah dan
secara langsung menyebabkan relaksasi otot polos arteriola. Turunan ini dalam
sediaan sering dikombinasi dengan obat-obat antihipertensi, seperti reserpin
dan hidralazin, untuk pengobatan hipertensi karena menimbulkan efek potensiasi
(Siswandono dan Soekardjo, 2000).
Diuretik turunan tiazida menimbulkan
efek samping hipokalemi, gangguan keseimbangan elektrolit dan menimbulkan
penyakit pirai yang akut (Siswandono dan Soekardjo, 2000).
Diuretik turunan tiazida mengandung
gugus sulfanil sehingga menghambat enzim karbonik anhidrase. Juga diketahui
bahwa efek saluretik terjadi karena adanya pemblokkan proses pengangkutan aktif
ion klorida dan absorpsi kembali ion yang menyertainya pada lengkungan Henle,
dengan mekanisme yang belum jelas kemungkinan karena peran dari prostaglandin.
Turunan tiazida juga menghambat enzim karbonik anhidrase di tubulus distalis
tetapi efeknya relatif lemah. Contohnya adalah Hidroklorotiazid (HCT),
bendroflumetiazid (naturetin), xipamid (diurexan), indapamid (natrilix),
klopamid, klortalidon (Siswandono dan Soekardjo, 2000).
2.
Diuretik Kuat
Diuretik kuat mencakup sekelompok
diuretic yang efeknya sangat kuat dibandingkan dengan diuretic lain. Tempat
kerja utamanya dibagian epitel tebal lengkung henlebagian asenden, oleh karena
itu golongan obat ini disebut juga sebagai loop
diuretic. Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah furosemid, toremid,
asam etakrinat, dan bumetanid (Farmakologi dan terapi, 2012)
Diuretik
lengkung Henle merupakan senyawa saluretik yang sangat kuat, aktivitasnya jauh
lebih besar dibanding turunan tiazida dan senyawa saluretik lain. Turunan ini
dapat memblok pengangkutan aktif NaCl pada lengkung Henle sehingga menurunkan
absorpsi kembali NaCl dan meningkatkan ekskresi NaCl lebih dari 25% (Siswandono
dan Soekardjo, 2000). Diuretik lengkung Henle menimbulkan efek samping yang
cukup serius, seperti hiperurisemi, hiperglikemi, hipotensi, hipokalemi,
hipokloremik alkalosis, kelainan hematologis dan dehidrasi. Biasanya digunakan
untuk pengobatan udem paru yang akut, udem karena kelainan jantung, ginjal atau
hati, udem karena keracunan kehamilan, udem otak dan untuk pengobatan
hipertensi ringan. Untuk pengobatan hipertensi yang sedang dan berat biasanya
dikombinasikan dengan obat antihipertensi (Siswandono dan Soekardjo, 2000).
3.
Diuretik Hemat Kalium
Diuretik hemat kalium adalah senyawa
yang mempunyai aktivitas natriuretik ringan dan dapat menurunkan sekresi ion H+
dan K+. Senyawa tersebut bekerja pada tubulus distalis dengan cara memblok
penukaran ion Na+ dengan ion H+ dan K+, menyebabkan retensi ion K+ dan
meningkatkan sekresi ion Na+ dan air (Siswandono dan Soekardjo, 2000).
Aktivitas diuretiknya relatif lemah, biasanya diberikan bersama-sama dengan
diuretik tiazida. Kombinasi ini menguntungkan karena dapat mengurangi sekresi
ion K+ sehingga menurunkan terjadinya hipokalemi dan menimbulkan efek aditif.
Obat golongan ini menimbulkan efek samping hiperkalemi, dapat memperberat
penyakit diabetes dan pirai, serta menyebabkan gangguan pada saluran cerna
(Siswandono dan Soekardjo, 2000).
Diuretik hemat kalium bekerja pada
saluran pengumpul, dengan mengubah kekuatan pasif yang mengontrol pergerakan
ion-ion, memblok absorpsi kembali ion Na+ dan ekskresi ion K+ sehingga
meningkatkan ekskresi ion Na+ dan Cl dalam urin. Diuretik hemat kalium dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu diuretika dengan efek langsung, contohnya adalah
amilorid dan triamteren, dan diuretika antagonis aldosteron, contohnya adalah
spironolakton (Siswandono dan Soekardjo, 2000).
4.
Penghambat Karbonik Anhidrase
Senyawa penghambat karbonik anhidrase
adalah saluretik, digunakan secara luas untuk pengobatan sembab yang ringan dan
moderat, sebelum diketemukan diuretik turunan tiazida. Efek samping yang
ditimbulkan golongan ini antara lain adalah gangguan saluran cerna, menurunnya
nafsu makan, parestisia, asidosis sistemik, alkalinisasi urin dan hipokalemi.
Adanya efek asidosis sistemik dan alkalinisasi urin dapat mengubah secara
bermakna perbandingan bentuk terionisasi dan yang tak terionisasi dari
obat-obat lain dalam cairan tubuh, sehingga mempengaruhi pengangkutan,
penyimpanan, metabolisme, ekskresi dan aktivitas obat-obat tersebut (Siswandono
dan Soekardjo, 2000).
Penggunaan diuretik penghambat
karbonik anhidrase terbatas karena cepat menimbulkan toleransi. Sekarang
diuretik penghambat karbonik anhidrase lebih banyak digunakan sebagai obat
penunjang pada pengobatan glaukoma, dikombinasikan dengan miotik, seperti
pilokarpin, karena dapat menekan pembentukan aqueus humour dan
menurunkan tekanan dalam mata. Contoh diuretik penghambat karbonik anhidrase
adalah asetazolamid, metazolamid, etokzolamid, diklorfenamid (Siswandono dan
Soekardjo, 2000).
2.2.2
Diuretik Osmosis
Diuretik osmosis adalah senyawa yang
dapat meningkatkan ekskresi urin dengan mekanisme kerja berdasarkan perbedaan
tekanan osmosa. Diuretik osmosis mempunyai berat molekul yang rendah, dalam
tubuh tidak mengalami metabolisme, secara pasif disaring melalui kapsula Bowman
ginjal, dan tidak dapat direabsorpsi kembali oleh tubulus renalis. Bila
diberikan dalam dosis besar atau larutan pekat akan menarik air dan elektrolit
ke tubulus renalis yang disebabkan oleh adanya perbedaan tekanan osmosa
sehingga terjadi dieresis (Siswandono dan Sukardjo, 1995).
Diuretik osmotik adalah natriuretik,
dapat meningkatkan ekskresi natrium dan air. Efek samping diuretika osmotik
antara lain adalah gangguan keseimbangan elektrolit, dehidrasi, mata kabur,
nyeri kepala dan takikardia. Contoh diuretik osmosis: manitol, gliserin,
isosorbid, dan urea (Siswandono dan Sukardjo, 2000).

GambarTempat Kerja
Diuretik pada Tubulus Ginjal (Ganiswarna,1995)
2.3 Furosemida
Furosemida
adalah suatu derivat asam antranilat yang efektif sebagai diuretik. Efek
kerjanya cepat dan dalam waktu yang singkat. Mekanisme kerja furosemid adalah menghambat penyerapan
kembali natrium oleh sel tubuli ginjal. Furosemida meningkatkan pengeluaran
air, natrium, klorida, kalium dan tidak mempengaruhi tekanan darah yang normal.
Pada penggunaan oral, furosemida diabsorpsi sebagian secara cepat dan
diekskresikan bersama urin dan feses (Lukmanto,2003)

Rumus Bangun Furosemida
Farmakokinetik
furosemid adalah awal kerja obat terjadi dalam 0,5-1 jam setelah pemberian
oral, dengan masa kerja yang relatif pendek ± 6-8 jam. Absorpsi furosemida dalam saluran cerna cepat, ketersediaan
hayatinya 60-69 % pada subyek normal, dan ± 91-99 % obat terikat oleh plasma
protein. Kadar darah maksimal dicapai 0,5-2 jam setelah pemberian secara oral,
dengan waktu paruh biologis ± 2 jam (Siswandono,1995). Resorpsinya dari usus
hanya lebih kurang 50%, t ½ plasma nya 30-60 menit. Ekskresinya melalui kemih
secara utuh, pada dosis tinggi juga lewat empedu ( Tjay dan Kirana, 2002).
Aktivitas furosemid 8-10 kali
diuretika tiazida (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Timbulnya diuresis cepat, biasanya 30 menit setelah pemberian
secara oral, mencapai maksimum dalam
2 atau 3 jam, dan selesai dalam 6 jam (Foye, 1995).
Efek
Samping jarang terjadi dan relatif ringan seperti mual, muntah, diare, rash kulit, pruritus dan kabur
penglihatan. Pemakaian furosemida dengan dosis tinggi atau pemberian dengan
jangka waktu lama dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan elektrolit
Secara
umum, pada injeksi intra vena terlalu cepat dan jarang terjadi ketulian (reversible) dan hipotensi. Dapat
juga terjadi hipokaliemia reversibel (Tjay dan Kirana, 2002).
Furosemida
dapat digunakan untuk pengobatan hipertensi ringan dan sedang, karena dapat
menurunkan tekanan darah (Siswandono,1995).
BAB
III
METODOLOGI
3.1
Tempat
dan Waktu Praktikum
Tempat : Laboratorium Farmakologi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
Tanggal : Kamis, 27 April 2017
Waktu : 13.00 – 14.30 WIB
3.2
Alat
dan Bahan
Hewan Percobaan : Tikus 253 gram (sebagai
kontrol negatif)
Obat yang
diberikan : Furosemid
injeksi
Dosis Obat : 20-80 mg/hari
(oral), 0,1 mg/kgBB (iv)
Konsentrasi
Larutan Obat : 10 mg/ml
(Furosemid)
Alat
yang diperlukan : Alat suntik 1 ml,
beaker glass, stopwatch, gelas ukur, corong khusus
3.3
Prosedur
Praktikum

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Perhitungan Dosis
·
Kelompok 1 (Kontrol negative), hanya
diberikan air hangat
Volume air
hangat= 15 ml/ kg BB.
Bobot tikus= 200
mg
Volume air
hangat yang diberikan =



·
Kelompok 2, Dosis Furosemid 20 mg/ kg BB
(Manusia).
Bobot mencit: 200 mg
Konsentrasi obat yang
diberikan: 10 mg/ ml
Dosis Hewan:
2,0555 mg/ kg BB

VAO: 

·
Kelompok 3, Dosis Furosemid 40 mg/ kg BB
(Manusia).
Bobot mencit: 200 mg
Konsentrasi obat yang
diberikan: 10 mg/ ml
Dosis Hewan:
4,11 mg/ kg BB

VAO: 

·
Kelompok 4, dosis Furosemid 80 mg/ kg BB
(manusia).
Bobot mencit: 200 mg
Konsentrasi obat yang
diberikan: 10 mg/ ml
Dosis Hewan:
8,22 mg/ kg BB

VAO: 

4.2 Hasil
Pengamatan:
Waktu (menit)
|
Volume Urin Kumulatif
(ml)
|
|||
Kel 1
|
Kel 2
|
Kel 3
|
Kel 4
|
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
15
|
0
|
0,5
|
1,0
|
1,4
|
30
|
0
|
2,0
|
2,3
|
2,7
|
45
|
0,4
|
4,0
|
4,3
|
3,9
|
60
|
1,0
|
4,1
|
4,8
|
3,9
|

4.3 Pembahasan
Pada
praktikum kali ini, kelompok kami akan melakukan praktikum tentang obat
diuretik. Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan
urin sehingga mempercepat pengeluaran urine dari dalam tubuh. Fungsi utama
diuretik adalah untuk memobilisasi cairan udem, yang berarti mengubah
keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstra sel kembali
menjadi normal (Hasan,2017). Berdasarkan mekanisme kerjanya, secara umum
diuretik dapat dibagi menjadi dua golongan besar yaitu diuretik osmotik yaitu
yang bekerja dengan cara menarik air ke urin, tanpa mengganggu sekresi atau
absorbsi ion dalam ginjal dan penghambat mekanisme transport
elektrolit di dalam tubuli ginjal, seperti diuretiktiazid (menghambat
reabsorbsi natrium dan klorida pada ansa Henle parsascendens), Loop diuretik
(lebih poten dari pada tiazid dan dapat menyebabkan hipokalemia), diuretik hemat kalium
(meningkatkan ekskresi natrium sambil menahan kalium).
Obat
yang digunakan pada praktikum kali ini adalah furosemid. Furosemid merupakan
suatu derivat asam antranilat yang efektif sebagai diuretik. Furosemid termasuk
ke dalam jenis diuretik kuat (Tjay dan Rahardja, 2007). Efek kerjanya cepat dan
dalam waktu yang singkat. Mekanisme kerja furosemid adalah menghambat penyerapan
kembali natrium oleh sel tubuli ginjal. Furosemida meningkatkan pengeluaran
air, natrium, klorida, kalium dan tidak mempengaruhi tekanan darah yang normal.
Onset secara injeksi adalah 5 menit dan diuresis berlangsung selama 2 jam.
Resorpsinya dari usus hanya lebih kurang 50%, t ½ plasmanya 30-60 menit.
Ekskresinya melalui kemih secara utuh, pada dosis tinggi juga lewat empedu (
Tjay dan Kirana, 2007).
Pada
praktikum kali ini, hewan uji yang digunakan adalah tikus putih dengan jenis
kelamin betina. Pada tikus kelompok 1 diberikan 3ml air hangat yang digunakan
sebagai kontrol negatif. Sedangkan tikus kelompok 2, 3, dan 4 berturut-turut
diberikan obat furosemid secara intraperitoneal dengan dosis manusia 20 mg/60
KgBB, 40 mg /60 KgBB, dan 80 mg/60 KgBB. Pada tikus kelompok 2,3,dan 4 juga
diberikan air hangat sebanyak ±3ml secara oral sebelum diinjeksikan obat
furosemid secara intrapritoneal. Hal ini bertujuan untuk mempercepat dan
memperbanyak urin yang akan dikeluarkan oleh tikus.
Berdasarkan
hasil pengamatan, pada 60 menit setelah diinjieksikan obat furosemid secara
intra peritoneal didapatkan bahwa jumlah akumulasi volume urin yang keluar pada
tikus kelompok 1 (kontrol negatif) sebanyak 1,8 ml; tikus kelompok 2 sebanyak
4,1 ml; tikus kelompok 3 sebanyak 4,8 ml; dan tikus kelompok 4 sebanyak 3,9 ml.
Menurut
hasil pengamatan, tikus yang diberikan furosemid memiliki jumlah volume urin
lebih banyak bila dibandingkan dengan tikus yang hanya diberikan air panas saja
(kontrol negatif). Hal ini membuktikan bahwa furosemid efektif memberikan efek
diuresis pada tikus. Furosemid merupakan diuretik yang efek utamanya pada pars
ascendens ansa henle. Obat-obat yang bekerja di salah satu bagian nefron ini
memiliki efektivitas yang tertinggi dalam memobilisasi Na+ dan Cl-
dari tubuh sehingga merupakan diuretik yang paling efektif dalam meningkatkan
volume urin. Hal ini disebabkan karena pars ascendens bertanggung jawab untuk
reabsorpsi 25-30% NaCl yang disaring.
Berdasarkan
literatur, baik pada
hewan maupun manusia, respon yang ditimbulkan oleh suatu obat dalam dosis yang
rendah, biasanya akan meningkat berbanding lurus dengan
peningkatan dosis (Katzung, 2007). Jadi dapat
disimpulkan bahwa semakin tinggi dosis, maka respon tubuh terhadap obat akan
semakin besar yang mengakibatkan obat lebih cepat bekerja. Hal ini juga sesuai
dengan praktikum bahwa jumlah volume urin dengan dosis 40 mg/60 KgBB lebih
banyak bila dibandingkan dengan dosis 20 mg/60 KgBB. Namun, pada tikus yang
diberikan furosemid dengan dosis manusia 80mg/60KgBB memiliki volume urin yang
lebih sedikit bila dibandingkan dengan dosis 20 mg/60 KgBB dan 40 mg/60 KgBB.
Hal ini dapat disebabkan oleh tidak masuknya seluruh obat dan juga dapat
disebabkan oleh perbedaan dalam hal faktor fisiologi dari hewan percobaan yang
digunakan. Untuk beberapa obat, perubahan dalam faktor-faktor farmakodinamik
merupakan sebab utama yang menimbulkan keragaman respons penderita. Variasi
dalam berbagai faktor farmakokinetik dan farmakodinamik ini berasal dari
perbedaan individual dalam kondisi fisiologik, kondisi patologik, faktor
genetik, interaksi obat dan toleransi (Mycek, 1997).
pada praktikum kali ini pengujian
yang dilakukan adalah dengan obat diuretic. Diuretik adalah obat yang dapat
menambah kecepatan pembentukan urin sehingga mempercepat pengeluaran urin dari
dalam tubuh. Fungsi utama diuretic adalah untuk memobilisasi carian udem, yang
berarti mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan
ekstra sel kembali menjadi normal. Obat yang digunakan dalam praktikum kali ini
adalah furosemid, dengan control negative menggunakan aquadest. Obat furosemid
yang digunakan dengan bermacam-macam dosis sehingga dapat dilihat perbedaan
efek dari setiap pemberian dosisnya.
Hewan yang digunakan dalam uji
diuretic ini adalah tikus. Sebelum pemberian obat, seharusnya tikus dipuasakan
terlebih dahulu. Fungsi mempuasakan tikus sebelum perlakuan adalah untuk
menghindari pengeluaran urin yang dieksresikan dari hasil makanan yang telah
tikus konsumsi, karena dalam pengujian ini yang akan dilihat adalah volume urin
yang disekresikan oleh hewan uji. Makanan yang dikonsumsi tikus akan
mempengaruhi metabolisme dari tikus tersebut.
Sebelum pemberian obat, tikus
terlebih dahulu diberikan air hangat secara oral. Air hangat yang diberikan
melalui perhitungan yaitu 15 ml air dikali dengan berat badan tikus. Berat
badan tikus kelompok 1 adalah 200 gram, sehingga air hangat yang diberikan adalah
sebanyak 3 ml. pemberian air hangat adalah untuk membantu mempercepat atau
memperbanyak urin yang dikeluarkan. Pada kelompok 1 menggunakan control
negative dengan hanya memberikan air hangat tidak menggunakan obat diuretic.
Control negated merupakan control tanpa perlakuan dalam hal ini yaitu tidak
menggunakan obat furosemid . dengan adanya control negative ini dapat
dihasilkan suatu baseline sehingga perubahan pada variabel tertentu / pada
perlakuan dengan obat furosemid dapat terlihat. Dalam hal ini dapat terlihat
hewan dengan control positif mengeluarkan urin lebih cepat dan lebih banyak
dari pada hewan uji control negative.
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
1.
Hewan uji yang digunakan adalah tikus
putih dengan jenis kelamin betina.
2.
Pada tikus kelompok 1 diberikan 3ml air
hangat yang digunakan sebagai kontrol negatif.
3.
tikus kelompok 2, 3, dan 4
berturut-turut diberikan obat furosemid secara intraperitoneal dengan dosis
manusia 20 mg/60 KgBB, 40 mg /60 KgBB, dan 80 mg/60 KgBB.
4.
Pada tikus kelompok 2,3,dan 4 juga
diberikan air hangat sebanyak ±3ml secara oral sebelum diinjeksikan obat
furosemid secara intrapritoneal. Hal ini bertujuan untuk mempercepat dan
memperbanyak urin yang akan dikeluarkan oleh tikus.
5.
pada 60 menit setelah diinjieksikan obat
furosemid secara intra peritoneal didapatkan bahwa jumlah akumulasi volume urin
yang keluar pada tikus kelompok 1 (kontrol negatif) sebanyak 1,8 ml; tikus
kelompok 2 sebanyak 4,1 ml; tikus kelompok 3 sebanyak 4,8 ml; dan tikus
kelompok 4 sebanyak 3,9 ml.
DAFTAR
PUSTAKA
Arsyi, K. 2007. Diuretik. Diakses dari
http://eprints.ums.ac.id/15303/2/bab_1.pdf pada 1 Mei 2017 pukul 20.14 WIB
Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.
Farmakologi dan Terapi. Jakrta; UI Press
Hasan, Dr. Delina dkk. 2017. Penuntun
Praktikum Farmakologi. Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah
Katzung, B.G. 2007. Farmakologi
Dasar dan Klinik Edisi X. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
Mycek, M. J., Harvey,
R.A., Champe, P. C., 1997. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi Kedua. Penerbit Widya Medika :
Jakarta
Setiawan,
Ebta. 2016. Diuretik. Diakses dari http://kbbi.web.id/diuretik pada 1 Mei 2017 pukul 21.08 WIB
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja,
2007, Obat-obat Penting Edisi 6 , PT. Elex Media Komputindo : Jakarta.
Komentar
Posting Komentar