PRAKTIKUM FARMAKOLOGI - Diuretik



BAB I
PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang
Air seni merupakan zat yang tidak berguna atau sampah sehingga harus dibuang oleh tubuh. Apabila pengeluaran air seni terhambat, maka akan menimbulkan banyak masalah di dalam tubuh, contohnya adalah penyakit darah tinggi. Kelancaran pengeluaran air seni akan mempengaruhi tekanan darah. Sebaliknya tekanan darah tinggi bisa dipengaruhi atau diobati dengan peningkatan pengeluaran air pada darah atau urin (diuretik). Salah satu cara menurunkan tekanan darah adalah menurunkan jumlah air yang ada dalam plasma darah. Dengan berkurangnya air maka tekanan darah akan menurun (Permadi, 2006)
Diuretik merupakan obat-obatan yang dapat meningkatkan laju aliran urin. Golongan obat ini menghambat penyerapan ion natrium pada bagianbagian tertentu dari ginjal. Oleh karena itu, terdapat perbedaan tekanan osmotik yang menyebabkan air ikut tertarik, sehingga produksi urin semakin bertambah (Satyadharma, 2014). Dengan kata lain diuretik ialah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin. Istilah diuresis memiliki dua pengertian, ialah menunjukkan adanya penambahan volume urin yang diproduksi dan menunjukkan jumlah pengeluaran zat-zat terlarut dan air (Sunaryo, 1995). Obat diuretik dapat pula digunakan untuk mengatasi hipertensi dan edema. Edema dapat terjadi pada penyakit gagal jantung kongesif, sindrom nefrotik dan edema premenstruasi.
Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan udem yang berarti mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstrasel menjadi normal. Proses diuresis dimulai dengan mengalirnya darah ke dalam glomeruli (gumpalan kapiler) yang terletak di bagian luar ginjal (cortex). Dinding glomeruli inilah yang bekerja sebagai saringan halus yang secara pasif dapat dilintasi air, garam dan glukosa. Ultrafiltrat yang diperoleh dari filtrasi dan mengandung banyak air serta elektrolit ditampung di wadah, yang mengelilingi setiap glomerulus seperti corong (kapsul Bowman) dan kemudian disalurkan ke pipa kecil. Di sini terjadi penarikan kembali secara aktif dari air dan komponen yang sangat penting bagi tubuh, seperti glukosa dan garam-garam antara lain ion Na+. Zat-zat ini dikembalikan pada darah melalui kapiler yang mengelilingi tubuli. Sisanya yang tak berguna seperti ”sampah” perombakan metabolisme-protein (ureum) untuk sebagian besar tidak diserap kembali. Akhirnya filtrat dari semua tubuli ditampung di suatu saluran pengumpul (ductus coligens), di mana terutama berlangsung penyerapan air kembali. Filtrat akhir disalurkan ke kandung kemih dan ditimbun sebagai urin.
1.2                     Rumusan Masalah
1.                  Bagaimana cara evaluasi secara eksperimental efek diuretik suatu obat.
2.                  Bagaimana merumuskan beberapa kriteria diuretik dan pendekatan yang baik untuk mengatasi diuretik.
1.3                     Tujuan Praktikum
Setelah menyelesaikan praktikum ini, mhasiswa diharapkan :
1.                  Mengenal cara evaluasi secara eksperimental efek diuretik suatu obat.
2.                  Mampu merumuskan beberapa kriteria diuretik dan pendekatan yang baik untuk mengatasi diuretik.















BAB II
LANDASAN TEORI

2.1  Diuretik
2.1.1        Definisi
Diuretik merupakan golongan obat yang berfungsi untuk mendorong produksi air seni (KBBI.web.id). Diuretik merupakan obat-obatan yang dapat meningkatkan laju aliran urin. Golongan obat ini menghambat penyerapan ion natrium pada bagianbagian tertentu dari ginjal. Oleh karena itu, terdapat perbedaan tekanan osmotik yang menyebabkan air ikut tertarik, sehingga produksi urin semakin bertambah (Satyadharma, 2014). Diuretik juga bisa diartikan sebagai obat-obat yang menyebabkan suatu keadaan meningkatnya aliran urin. Obat-obat ini menghambat transport ion yang menurunkan reabsorpsi Na+ pada bagian-bagian nefron yang berbeda. Akibatnya Na+ dan ion lain seperti Cl- memasuki urin dalam jumlah lebih banyak dibandingkan bila keadaan normal bersama-sama air yang mengangkut secara pasif untuk mempertahankan keseimbangan osmotik (Pamela dkk., 1995).
Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan edema yang berarti mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstrasel kembali menjadi normal (Farmakologi dan terapi, 2012)
2.1.2        Faktor yang Mempengaruhi Respon Diuretik
Terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi respon diuretik. Pertama, tempat kerja diuretik di ginjal. Diuretik yang bekerja pada daerah yang reabsorbsi natrium sedikit, akan memberi efek yang lebih kecil bila dibandingkan dengan diuretik yang bekerja pada daerah yang reabsorbsi natrium banyak. Kedua, status fisiologi dari organ. Misalnya dekompensasi jantung, sirosis hati, gagal ginjal. Dalam keadaan ini akan memberikan respon yang berbeda terhadap diuretik. Ketiga, interaksi antara obat dengan reseptor (Siregar, P., W.P., R. Oesman, R.P. Sidabutar , 2008).


2.1.3        Mekanisme Kerja Diuretik
Diuretik menghasilkan peningkatan aliran urin (diuresis) dengan menghambat reabsorpsi natrium dan air dari tubulus ginjal. Kebanyakan reabsorpsi natrium dan air terjadi di sepanjang segmen-segmen tubulus ginjal (proksimal, ansa Henle dan distal) (Kee dan Hayes, 1996).
1.      Tubuli proksimal
            Garam direabsorpsi secara aktif (70%), antara lain Na+ dan air, begitu pula glukosa dan ureum. Karena reabsorpsi berlangsung proporsional, maka susunan filtrat tidak berubah dan tetap isotonis terhadap plasma. Diuretika osmosis (manitol, sorbitol) bekerja disini dengan merintangi reabsorpsi air dan natrium (Tjay dan Rahardja, 2002).
2.      Lengkungan Henle
            Di bagian menaik lengkungan Henle ini, 25 % dari semua Cl- yang telah difiltrasi direabsorpsi secara aktif, disusul dengan reabsorpsi pasif dari Na+ dan K+, tetapi tanpa air, hingga filtrat menjadi hipotonis. Diuretika lengkungan (furosemida, bumetamida, etakrinat) bekerja dengan merintangi transport Cl-, dan demikian reabsorpsi Na+, pengeluaran K+, dan air diperbanyak (Tjay dan Rahardja, 2002).
3.      Tubuli distal
            Di bagian pertama segmen ini, Na+ direabsorpsi secara aktif tanpa air hingga filtrat menjadi lebih cair dan hipotonis. Senyawa thiazida dan klortalidon bekerja di tempat ini (Tjay dan Rahardja, 2002). Di bagian kedua segmen ini, ion Na+ ditukarkan dengan ion K+ atau, proses ini dikendalikan oleh hormon anak ginjal aldosteron. Antagonis aldosteron (spironolakton) dan zat-zat penghemat kalium (amilorida, triamteren) bekerja disini (Tjay dan Rahardja, 2002).
4.      Saluran pengumpul
            Hormon antidiuretik vasopresin dari hipofise bekerja di saluran pengumpul dengan jalan mempengaruhi permeabilitas bagi air dan sel-sel saluran ini (Tjay dan Rahardja, 2002).
2.1.4        Frekuensi Volume Urin Normal
            Volume urin tergantung pada jumlah air diekskresikan oleh ginjal. Air adalah komposisi utama. Oleh karena itu, banyaknya eskresi oleh tubuh tergantung dari hidrasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi volume urin meliputi asupan cairan, kehilangan cairan yang bukan bersumber dari ginjal, variasi yang tergantung dari antidiuretik  hormon (ADH), dan kebutuhan untuk mengeluarkan jumlah peningkatan zat terlarut seperti glukosa atau garam.
            Volume urin normal pada manusia yaitu pada anak-anak volumenya adalah 500-1400 mL / hari, sedangkan pada orang dewasa volumenya adalah 800-2500 mL / hari.
2.2   Penggolongan Diuretik
            Secara umum dapat digolongkan menjadi dua golongan besar, yaitu penghambat mekanisme transport elektrolit dalam tubuli ginjal dan diuretik osmosis.
2.2.1        Diuretik Penghambat Mekanisme Transport Elektrolit dalam Tubuli Ginjal
            Golongan obat diuretik ini, digolongkan kedalam beberapa golongan, yaitu:
1.      Benzotiazid
            Bezotiazid merupakan diuretik turunan tiazida adalah saluretik, yang dapat menekan absorpsi kembali ion-ion Na+, Cl- dan air. Turunan ini juga meningkatkan ekskresi ion-ion K+, Mg++ dan HCO3- dan menurunkan eksresi asam urat (Siswandono dan Soekardjo, 2000).
            Diuretik turunan tiazida terutama digunakan untuk pengobatan udem pada keadaan dekompensasi jantung dan sebagai penunjang pada pengobatan hipertensi karena dapat mengurangi volume darah dan secara langsung menyebabkan relaksasi otot polos arteriola. Turunan ini dalam sediaan sering dikombinasi dengan obat-obat antihipertensi, seperti reserpin dan hidralazin, untuk pengobatan hipertensi karena menimbulkan efek potensiasi (Siswandono dan Soekardjo, 2000).
            Diuretik turunan tiazida menimbulkan efek samping hipokalemi, gangguan keseimbangan elektrolit dan menimbulkan penyakit pirai yang akut (Siswandono dan Soekardjo, 2000).
            Diuretik turunan tiazida mengandung gugus sulfanil sehingga menghambat enzim karbonik anhidrase. Juga diketahui bahwa efek saluretik terjadi karena adanya pemblokkan proses pengangkutan aktif ion klorida dan absorpsi kembali ion yang menyertainya pada lengkungan Henle, dengan mekanisme yang belum jelas kemungkinan karena peran dari prostaglandin. Turunan tiazida juga menghambat enzim karbonik anhidrase di tubulus distalis tetapi efeknya relatif lemah. Contohnya adalah Hidroklorotiazid (HCT), bendroflumetiazid (naturetin), xipamid (diurexan), indapamid (natrilix), klopamid, klortalidon (Siswandono dan Soekardjo, 2000).
2.      Diuretik Kuat
            Diuretik kuat mencakup sekelompok diuretic yang efeknya sangat kuat dibandingkan dengan diuretic lain. Tempat kerja utamanya dibagian epitel tebal lengkung henlebagian asenden, oleh karena itu golongan obat ini disebut juga sebagai loop diuretic. Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah furosemid, toremid, asam etakrinat, dan bumetanid (Farmakologi dan terapi, 2012)
            Diuretik lengkung Henle merupakan senyawa saluretik yang sangat kuat, aktivitasnya jauh lebih besar dibanding turunan tiazida dan senyawa saluretik lain. Turunan ini dapat memblok pengangkutan aktif NaCl pada lengkung Henle sehingga menurunkan absorpsi kembali NaCl dan meningkatkan ekskresi NaCl lebih dari 25% (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Diuretik lengkung Henle menimbulkan efek samping yang cukup serius, seperti hiperurisemi, hiperglikemi, hipotensi, hipokalemi, hipokloremik alkalosis, kelainan hematologis dan dehidrasi. Biasanya digunakan untuk pengobatan udem paru yang akut, udem karena kelainan jantung, ginjal atau hati, udem karena keracunan kehamilan, udem otak dan untuk pengobatan hipertensi ringan. Untuk pengobatan hipertensi yang sedang dan berat biasanya dikombinasikan dengan obat antihipertensi (Siswandono dan Soekardjo, 2000).
3.      Diuretik Hemat Kalium
            Diuretik hemat kalium adalah senyawa yang mempunyai aktivitas natriuretik ringan dan dapat menurunkan sekresi ion H+ dan K+. Senyawa tersebut bekerja pada tubulus distalis dengan cara memblok penukaran ion Na+ dengan ion H+ dan K+, menyebabkan retensi ion K+ dan meningkatkan sekresi ion Na+ dan air (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Aktivitas diuretiknya relatif lemah, biasanya diberikan bersama-sama dengan diuretik tiazida. Kombinasi ini menguntungkan karena dapat mengurangi sekresi ion K+ sehingga menurunkan terjadinya hipokalemi dan menimbulkan efek aditif. Obat golongan ini menimbulkan efek samping hiperkalemi, dapat memperberat penyakit diabetes dan pirai, serta menyebabkan gangguan pada saluran cerna (Siswandono dan Soekardjo, 2000).
            Diuretik hemat kalium bekerja pada saluran pengumpul, dengan mengubah kekuatan pasif yang mengontrol pergerakan ion-ion, memblok absorpsi kembali ion Na+ dan ekskresi ion K+ sehingga meningkatkan ekskresi ion Na+ dan Cl dalam urin. Diuretik hemat kalium dibagi menjadi dua kelompok, yaitu diuretika dengan efek langsung, contohnya adalah amilorid dan triamteren, dan diuretika antagonis aldosteron, contohnya adalah spironolakton (Siswandono dan Soekardjo, 2000).
4.      Penghambat Karbonik Anhidrase
            Senyawa penghambat karbonik anhidrase adalah saluretik, digunakan secara luas untuk pengobatan sembab yang ringan dan moderat, sebelum diketemukan diuretik turunan tiazida. Efek samping yang ditimbulkan golongan ini antara lain adalah gangguan saluran cerna, menurunnya nafsu makan, parestisia, asidosis sistemik, alkalinisasi urin dan hipokalemi. Adanya efek asidosis sistemik dan alkalinisasi urin dapat mengubah secara bermakna perbandingan bentuk terionisasi dan yang tak terionisasi dari obat-obat lain dalam cairan tubuh, sehingga mempengaruhi pengangkutan, penyimpanan, metabolisme, ekskresi dan aktivitas obat-obat tersebut (Siswandono dan Soekardjo, 2000).
            Penggunaan diuretik penghambat karbonik anhidrase terbatas karena cepat menimbulkan toleransi. Sekarang diuretik penghambat karbonik anhidrase lebih banyak digunakan sebagai obat penunjang pada pengobatan glaukoma, dikombinasikan dengan miotik, seperti pilokarpin, karena dapat menekan pembentukan aqueus humour dan menurunkan tekanan dalam mata. Contoh diuretik penghambat karbonik anhidrase adalah asetazolamid, metazolamid, etokzolamid, diklorfenamid (Siswandono dan Soekardjo, 2000).
2.2.2        Diuretik Osmosis
            Diuretik osmosis adalah senyawa yang dapat meningkatkan ekskresi urin dengan mekanisme kerja berdasarkan perbedaan tekanan osmosa. Diuretik osmosis mempunyai berat molekul yang rendah, dalam tubuh tidak mengalami metabolisme, secara pasif disaring melalui kapsula Bowman ginjal, dan tidak dapat direabsorpsi kembali oleh tubulus renalis. Bila diberikan dalam dosis besar atau larutan pekat akan menarik air dan elektrolit ke tubulus renalis yang disebabkan oleh adanya perbedaan tekanan osmosa sehingga terjadi dieresis (Siswandono dan Sukardjo, 1995).
            Diuretik osmotik adalah natriuretik, dapat meningkatkan ekskresi natrium dan air. Efek samping diuretika osmotik antara lain adalah gangguan keseimbangan elektrolit, dehidrasi, mata kabur, nyeri kepala dan takikardia. Contoh diuretik osmosis: manitol, gliserin, isosorbid, dan urea (Siswandono dan Sukardjo, 2000).
GambarTempat Kerja Diuretik pada Tubulus Ginjal (Ganiswarna,1995)

2.3  Furosemida
Furosemida adalah suatu derivat asam antranilat yang efektif sebagai diuretik. Efek kerjanya cepat dan dalam waktu yang singkat. Mekanisme kerja  furosemid adalah menghambat penyerapan kembali natrium oleh sel tubuli ginjal. Furosemida meningkatkan pengeluaran air, natrium, klorida, kalium dan tidak mempengaruhi tekanan darah yang normal. Pada penggunaan oral, furosemida diabsorpsi sebagian secara cepat dan diekskresikan bersama urin dan feses (Lukmanto,2003)

furosemid
Rumus Bangun Furosemida

Farmakokinetik furosemid adalah awal kerja obat terjadi dalam 0,5-1 jam setelah pemberian oral, dengan masa kerja yang relatif pendek ± 6-8 jam. Absorpsi furosemida  dalam saluran cerna cepat, ketersediaan hayatinya 60-69 % pada subyek normal, dan ± 91-99 % obat terikat oleh plasma protein. Kadar darah maksimal dicapai 0,5-2 jam setelah pemberian secara oral, dengan waktu paruh biologis ± 2 jam (Siswandono,1995). Resorpsinya dari usus hanya lebih kurang 50%, t ½ plasma nya 30-60 menit. Ekskresinya melalui kemih secara utuh, pada dosis tinggi juga lewat empedu ( Tjay dan Kirana, 2002). Aktivitas furosemid 8-10 kali diuretika tiazida (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Timbulnya diuresis cepat, biasanya 30 menit setelah pemberian secara oral, mencapai maksimum dalam 2 atau 3 jam, dan selesai dalam 6 jam (Foye, 1995).
Efek Samping jarang terjadi dan relatif ringan seperti mual, muntah, diare, rash kulit, pruritus dan kabur penglihatan. Pemakaian furosemida dengan dosis tinggi atau pemberian dengan jangka waktu lama dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan elektrolit
Secara umum, pada injeksi intra vena terlalu cepat dan jarang terjadi  ketulian (reversible) dan hipotensi. Dapat juga terjadi hipokaliemia reversibel (Tjay dan Kirana, 2002).
Furosemida dapat digunakan untuk pengobatan hipertensi ringan dan sedang, karena dapat menurunkan tekanan darah (Siswandono,1995).


























BAB III
METODOLOGI

3.1         Tempat dan Waktu Praktikum
Tempat : Laboratorium Farmakologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tanggal : Kamis, 27 April 2017
Waktu  : 13.00 – 14.30 WIB

3.2         Alat dan Bahan
Hewan Percobaan                    : Tikus 253 gram (sebagai kontrol negatif)
Obat yang diberikan                 : Furosemid injeksi
Dosis Obat                               : 20-80 mg/hari (oral), 0,1 mg/kgBB (iv)
Konsentrasi Larutan Obat         : 10 mg/ml (Furosemid)
                                                    Alat yang diperlukan     : Alat suntik 1 ml, beaker glass, stopwatch, gelas ukur, corong khusus

3.3         Prosedur Praktikum












BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1  Perhitungan Dosis
·        Kelompok 1 (Kontrol negative), hanya diberikan air hangat
Volume air hangat= 15 ml/ kg BB.
Bobot tikus= 200 mg
Volume air hangat yang diberikan =  
·        Kelompok 2, Dosis Furosemid 20 mg/ kg BB (Manusia).
Bobot mencit: 200 mg
Konsentrasi obat yang diberikan: 10 mg/ ml
Dosis Hewan: 2,0555 mg/ kg BB
VAO:
·        Kelompok 3, Dosis Furosemid 40 mg/ kg BB (Manusia).
Bobot mencit: 200 mg
Konsentrasi obat yang diberikan: 10 mg/ ml
Dosis Hewan: 4,11 mg/ kg BB
VAO:
·        Kelompok 4, dosis Furosemid 80 mg/ kg BB (manusia).
Bobot mencit: 200 mg
Konsentrasi obat yang diberikan: 10 mg/ ml
Dosis Hewan: 8,22 mg/ kg BB
VAO:





4.2 Hasil Pengamatan:
Waktu (menit)
Volume Urin Kumulatif (ml)
Kel 1
Kel 2
Kel 3
Kel 4
0
0
0
0
0
15
0
0,5
1,0
1,4
30
0
2,0
2,3
2,7
45
0,4
4,0
4,3
3,9
60
1,0
4,1
4,8
3,9


4.3 Pembahasan
Pada praktikum kali ini, kelompok kami akan melakukan praktikum tentang obat diuretik. Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin sehingga mempercepat pengeluaran urine dari dalam tubuh. Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan udem, yang berarti mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstra sel kembali menjadi normal (Hasan,2017). Berdasarkan mekanisme kerjanya, secara umum diuretik dapat dibagi menjadi dua golongan besar yaitu diuretik osmotik yaitu yang bekerja dengan cara menarik air ke urin, tanpa mengganggu sekresi atau absorbsi ion dalam ginjal dan penghambat mekanisme transport elektrolit di dalam tubuli ginjal, seperti diuretiktiazid (menghambat reabsorbsi natrium dan klorida pada ansa Henle parsascendens), Loop diuretik (lebih poten dari pada tiazid dan dapat menyebabkan  hipokalemia), diuretik hemat kalium (meningkatkan ekskresi natrium sambil menahan kalium).
Obat yang digunakan pada praktikum kali ini adalah furosemid. Furosemid merupakan suatu derivat asam antranilat yang efektif sebagai diuretik. Furosemid termasuk ke dalam jenis diuretik kuat (Tjay dan Rahardja, 2007). Efek kerjanya cepat dan dalam waktu yang singkat. Mekanisme kerja furosemid adalah menghambat penyerapan kembali natrium oleh sel tubuli ginjal. Furosemida meningkatkan pengeluaran air, natrium, klorida, kalium dan tidak mempengaruhi tekanan darah yang normal. Onset secara injeksi adalah 5 menit dan diuresis berlangsung selama 2 jam. Resorpsinya dari usus hanya lebih kurang 50%, t ½ plasmanya 30-60 menit. Ekskresinya melalui kemih secara utuh, pada dosis tinggi juga lewat empedu ( Tjay dan Kirana, 2007).
Pada praktikum kali ini, hewan uji yang digunakan adalah tikus putih dengan jenis kelamin betina. Pada tikus kelompok 1 diberikan 3ml air hangat yang digunakan sebagai kontrol negatif. Sedangkan tikus kelompok 2, 3, dan 4 berturut-turut diberikan obat furosemid secara intraperitoneal dengan dosis manusia 20 mg/60 KgBB, 40 mg /60 KgBB, dan 80 mg/60 KgBB. Pada tikus kelompok 2,3,dan 4 juga diberikan air hangat sebanyak ±3ml secara oral sebelum diinjeksikan obat furosemid secara intrapritoneal. Hal ini bertujuan untuk mempercepat dan memperbanyak urin yang akan dikeluarkan oleh tikus.
Berdasarkan hasil pengamatan, pada 60 menit setelah diinjieksikan obat furosemid secara intra peritoneal didapatkan bahwa jumlah akumulasi volume urin yang keluar pada tikus kelompok 1 (kontrol negatif) sebanyak 1,8 ml; tikus kelompok 2 sebanyak 4,1 ml; tikus kelompok 3 sebanyak 4,8 ml; dan tikus kelompok 4 sebanyak 3,9 ml.
Menurut hasil pengamatan, tikus yang diberikan furosemid memiliki jumlah volume urin lebih banyak bila dibandingkan dengan tikus yang hanya diberikan air panas saja (kontrol negatif). Hal ini membuktikan bahwa furosemid efektif memberikan efek diuresis pada tikus. Furosemid merupakan diuretik yang efek utamanya pada pars ascendens ansa henle. Obat-obat yang bekerja di salah satu bagian nefron ini memiliki efektivitas yang tertinggi dalam memobilisasi Na+ dan Cl- dari tubuh sehingga merupakan diuretik yang paling efektif dalam meningkatkan volume urin. Hal ini disebabkan karena pars ascendens bertanggung jawab untuk reabsorpsi 25-30% NaCl yang disaring.
Berdasarkan literatur, baik pada hewan maupun manusia, respon yang ditimbulkan oleh suatu obat dalam dosis yang rendah, biasanya akan meningkat berbanding lurus dengan peningkatan dosis (Katzung, 2007). Jadi dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi dosis, maka respon tubuh terhadap obat akan semakin besar yang mengakibatkan obat lebih cepat bekerja. Hal ini juga sesuai dengan praktikum bahwa jumlah volume urin dengan dosis 40 mg/60 KgBB lebih banyak bila dibandingkan dengan dosis 20 mg/60 KgBB. Namun, pada tikus yang diberikan furosemid dengan dosis manusia 80mg/60KgBB memiliki volume urin yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan dosis 20 mg/60 KgBB dan 40 mg/60 KgBB. Hal ini dapat disebabkan oleh tidak masuknya seluruh obat dan juga dapat disebabkan oleh perbedaan dalam hal faktor fisiologi dari hewan percobaan yang digunakan. Untuk beberapa obat, perubahan dalam faktor-faktor farmakodinamik merupakan sebab utama yang menimbulkan keragaman respons penderita. Variasi dalam berbagai faktor farmakokinetik dan farmakodinamik ini berasal dari perbedaan individual dalam kondisi fisiologik, kondisi patologik, faktor genetik, interaksi obat dan toleransi (Mycek, 1997).
pada praktikum kali ini pengujian yang dilakukan adalah dengan obat diuretic. Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin sehingga mempercepat pengeluaran urin dari dalam tubuh. Fungsi utama diuretic adalah untuk memobilisasi carian udem, yang berarti mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstra sel kembali menjadi normal. Obat yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah furosemid, dengan control negative menggunakan aquadest. Obat furosemid yang digunakan dengan bermacam-macam dosis sehingga dapat dilihat perbedaan efek dari setiap pemberian dosisnya.
Hewan yang digunakan dalam uji diuretic ini adalah tikus. Sebelum pemberian obat, seharusnya tikus dipuasakan terlebih dahulu. Fungsi mempuasakan tikus sebelum perlakuan adalah untuk menghindari pengeluaran urin yang dieksresikan dari hasil makanan yang telah tikus konsumsi, karena dalam pengujian ini yang akan dilihat adalah volume urin yang disekresikan oleh hewan uji. Makanan yang dikonsumsi tikus akan mempengaruhi metabolisme dari tikus tersebut.
Sebelum pemberian obat, tikus terlebih dahulu diberikan air hangat secara oral. Air hangat yang diberikan melalui perhitungan yaitu 15 ml air dikali dengan berat badan tikus. Berat badan tikus kelompok 1 adalah 200 gram, sehingga air hangat yang diberikan adalah sebanyak 3 ml. pemberian air hangat adalah untuk membantu mempercepat atau memperbanyak urin yang dikeluarkan. Pada kelompok 1 menggunakan control negative dengan hanya memberikan air hangat tidak menggunakan obat diuretic. Control negated merupakan control tanpa perlakuan dalam hal ini yaitu tidak menggunakan obat furosemid . dengan adanya control negative ini dapat dihasilkan suatu baseline sehingga perubahan pada variabel tertentu / pada perlakuan dengan obat furosemid dapat terlihat. Dalam hal ini dapat terlihat hewan dengan control positif mengeluarkan urin lebih cepat dan lebih banyak dari pada hewan uji control negative.










BAB V
KESIMPULAN
A.     Kesimpulan
1.      Hewan uji yang digunakan adalah tikus putih dengan jenis kelamin betina.
2.      Pada tikus kelompok 1 diberikan 3ml air hangat yang digunakan sebagai kontrol negatif.
3.      tikus kelompok 2, 3, dan 4 berturut-turut diberikan obat furosemid secara intraperitoneal dengan dosis manusia 20 mg/60 KgBB, 40 mg /60 KgBB, dan 80 mg/60 KgBB.
4.      Pada tikus kelompok 2,3,dan 4 juga diberikan air hangat sebanyak ±3ml secara oral sebelum diinjeksikan obat furosemid secara intrapritoneal. Hal ini bertujuan untuk mempercepat dan memperbanyak urin yang akan dikeluarkan oleh tikus.
5.      pada 60 menit setelah diinjieksikan obat furosemid secara intra peritoneal didapatkan bahwa jumlah akumulasi volume urin yang keluar pada tikus kelompok 1 (kontrol negatif) sebanyak 1,8 ml; tikus kelompok 2 sebanyak 4,1 ml; tikus kelompok 3 sebanyak 4,8 ml; dan tikus kelompok 4 sebanyak 3,9 ml.















DAFTAR PUSTAKA

Arsyi, K. 2007. Diuretik.  Diakses dari  http://eprints.ums.ac.id/15303/2/bab_1.pdf pada 1 Mei 2017 pukul 20.14 WIB
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakrta; UI Press
Hasan, Dr. Delina dkk. 2017. Penuntun Praktikum Farmakologi. Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah
Katzung, B.G. 2007. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi X. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
Mycek, M. J., Harvey, R.A., Champe, P. C., 1997. Farmakologi Ulasan Bergambar  Edisi Kedua. Penerbit Widya Medika : Jakarta
Setiawan, Ebta. 2016. Diuretik. Diakses dari http://kbbi.web.id/diuretik pada 1 Mei 2017 pukul 21.08 WIB
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja, 2007, Obat-obat Penting Edisi 6 , PT. Elex Media Komputindo : Jakarta.


Komentar

Postingan Populer